Kebapaan, dalam perspektif Alkitab, bukanlah sekadar peran biologis atau konstruksi sosial, melainkan sebuah panggilan ilahi dan kepercayaan yang sakral. Di tengah zaman yang ditandai oleh apa yang sering disebut sebagai "krisis kebapaan"—ditandai dengan fenomena fatherlessness (ketiadaan figur ayah), kehadiran ayah yang tidak terlibat secara emosional, dan model kebapaan yang terdistorsi—Alkitab menawarkan sebuah model yang definitif dan transformatif. Banyak ayah merasa gagal atau kekurangan panduan yang jelas dalam menjalankan peran mereka. Kitab Suci, sebagai panduan utama bagi orang Kristen, harus menjadi rujukan utama untuk memaksimalkan peran ini.
Krisis kebapaan modern pada dasarnya adalah krisis teologis. Akar masalahnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor sosial atau psikologis, tetapi pada hilangnya pemahaman kolektif tentang siapa Allah Bapa. Alkitab secara konsisten menyajikan kebapaan duniawi sebagai cerminan dari kebapaan Allah. Pemahaman seorang anak tentang Allah sangat dibentuk oleh figur ayah duniawinya. Ketika sebuah budaya kehilangan pemahaman yang benar tentang karakter Allah Bapa—yang penuh kasih, hadir, adil, dan berbelas kasihan—maka model kebapaan duniawi yang ada secara tak terhindarkan akan menjadi rusak dan terdistorsi. Oleh karena itu, solusinya bukan sekadar teknik pengasuhan yang lebih baik, melainkan pemulihan doktrin tentang kebapaan Allah.
Kebapaan alkitabiah adalah panggilan yang tinggi, sebuah tugas yang menantang namun dapat dicapai melalui anugerah dan kekuatan Allah. Ini jauh lebih dari sekadar menyediakan kebutuhan materi atau menegakkan aturan; ini adalah tentang mencerminkan hati Bapa surgawi kepada generasi berikutnya. Dengan merangkul peran sebagai imam, nabi, raja, dan gembala, seorang ayah secara sengaja membentuk atmosfer rohani di rumahnya. Dengan memprioritaskan hubungannya dengan istrinya, hidup dengan integritas, hadir secara bermakna, dan berjalan dalam kerendahan hati, ia membangun fondasi karakter yang membuat perannya menjadi otentik dan efektif.
Tujuan akhirnya adalah untuk membesarkan anak-anak yang, seperti yang ditulis oleh Rasul Yohanes, "hidup dalam kebenaran" , yang menjadi "murid TUHAN". Ini adalah pekerjaan yang melampaui kemampuan manusia. Seorang ayah dapat mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan, tetapi pada akhirnya, hanya Tuhan yang dapat mengubah hati seorang anak. Oleh karena itu, ketergantungan total pada hikmat dan kuasa Tuhan adalah sikap fundamental seorang bapak alkitabiah.
Panggilan ini adalah undangan untuk meninggalkan mediokritas dan kepasifan. Ini adalah panggilan untuk secara sengaja dan tanpa lelah berinvestasi dalam jiwa-jiwa yang telah dipercayakan Tuhan kepada seorang ayah. Dengan melakukannya, ia tidak hanya membentuk masa depan anak-anaknya di bumi, tetapi juga membangun warisan iman yang kekal, yang akan bergema hingga keabadian.
Pendahuluan: Panggilan Mulia Seorang Bapak di Tengah Krisis Kebapaan
Kebapaan, dalam perspektif Alkitab, bukanlah sekadar peran biologis atau konstruksi sosial, melainkan sebuah panggilan ilahi dan kepercayaan yang sakral. Di tengah zaman yang ditandai oleh apa yang sering disebut sebagai "krisis kebapaan"—ditandai dengan fenomena fatherlessness (ketiadaan figur ayah), kehadiran ayah yang tidak terlibat secara emosional, dan model kebapaan yang terdistorsi—Alkitab menawarkan sebuah model yang definitif dan transformatif. Banyak ayah merasa gagal atau kekurangan panduan yang jelas dalam menjalankan peran mereka. Alkitab, sebagai panduan utama bagi orang Kristen, harus menjadi rujukan utama untuk memaksimalkan peran ini.
Krisis kebapaan modern pada dasarnya adalah krisis teologis. Akar masalahnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor sosial atau psikologis, tetapi pada hilangnya pemahaman kolektif tentang siapa Allah Bapa. Alkitab secara konsisten menyajikan kebapaan duniawi sebagai cerminan dari kebapaan Allah. Pemahaman seorang anak tentang Allah sangat dibentuk oleh figur ayah duniawinya. baca selengkapnya